Penyusutan fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang dirancang untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ini memungkinkan para pelaku usaha untuk mengurangi nilai aset tetap mereka secara bertahap selama masa manfaatnya, sehingga dapat menurunkan beban pajak mereka.
Hal ini diharapkan dapat mendorong para pelaku usaha untuk melakukan lebih banyak investasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Penyusutan fiskal dapat diterapkan pada berbagai jenis aset tetap, seperti mesin, bangunan, dan kendaraan.
Besaran penyusutan yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan masa manfaat aset dan metode penyusutan yang digunakan.
Terdapat beberapa metode penyusutan yang umum digunakan, seperti metode garis lurus, metode saldo berkurang, dan metode jumlah digit.
Baca Juga: Surat Keterangan Fiskal: Fungsi Dan Cara Mengajukannya
Apa Itu Penyusutan Fiskal?
Penyusutan fiskal merujuk pada proses penyusutan yang diatur oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh).
Dasar hukum untuk ini tercantum dalam Pasal 11 UU PPh, dengan menggunakan dua metode, yakni metode garis lurus dan metode saldo menurun.
Harta yang terkena penyusutan fiskal adalah harta berwujud seperti bangunan dan non-bangunan.
Harta berwujud bangunan hanya bisa disusutkan dengan metode garis lurus, sedangkan yang lainnya dapat menggunakan kedua metode.
Selain penyusutan fiskal, ada juga penyusutan komersial. Perbedaannya terletak pada umur dan metode penyusutannya, yang ditentukan oleh perusahaan berdasarkan penggolongan fixed asset yang dimilikinya.
Penyusutan fiskal dimulai pada bulan di mana harta berwujud tersebut diperoleh atau dikeluarkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU PPh.
Jika harta berwujud masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya akan dimulai setelah pengerjaan tersebut selesai.
Namun demikian, Pasal 11 ayat (4) UU PPh memberikan kebebasan kepada Wajib Pajak (WP) untuk memulai penyusutan saat harta berwujud digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Ini juga bisa dimulai pada bulan di mana harta tersebut mulai menghasilkan, dengan persetujuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Setiap perusahaan biasanya memiliki kebijakan internal untuk menentukan masa manfaat harta berwujud yang mereka miliki, yang mungkin berbeda dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (6) UU PPh.
Oleh karena itu, perhitungan penyusutan harta berwujud perlu disesuaikan secara fiskal terlebih dahulu, untuk mendapatkan jumlah penyusutan yang tepat.
Baca Juga: Rekonsiliasi Fiskal, Penting Untuk Kelola Keuangan Negara
Tarif Penyusutan Fiskal
Berdasarkan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PPh, wajib pajak diberi kebebasan untuk memulai penyusutan ketika harta berwujud digunakan untuk menagih, mendapatkan, dan merawat penghasilan.
Contohnya, ketika alat yang digunakan untuk produksi sudah aktif, asalkan ada persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
Sementara itu, perusahaan memiliki kebijakan sendiri untuk menetapkan masa manfaat aset berwujud yang dimilikinya, yang mungkin berbeda dengan yang diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, perhitungan penyusutan aset tersebut harus direkonsiliasi secara fiskal. Setelah itu, pelaku bisnis akan mengetahui jumlah pajak yang harus dibayarkan setelah mengalami penyusutan.
Menurut Pasal 11 ayat (11) Undang-Undang PPh, klasifikasi aset berwujud yang bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang ditetapkan, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan terkait jenis harta berwujud tersebut.
Dalam menetapkan tarif penyusutan fiskal, Direktorat Jenderal Pajak memiliki ketentuan berdasarkan kelompok-kelompok harta berwujud, masa manfaat, dan metode penyusutan yang dijelaskan dalam ayat 1 dan 2 Pasal tersebut.
Adapun tarif penyusutan fiskal adalah sebagai berikut:
- Dalam kelompok 1, terdapat jenis harta dengan masa manfaat minimal 4 tahun. Tarif penyusutan menurut ayat 1 adalah 25%, sementara menurut ayat 2 adalah 50%.
- Untuk kelompok 2, terdapat jenis harta dengan masa manfaat minimal 8 tahun. Tarif penyusutan menurut ayat 1 adalah 12,5%, sementara menurut ayat 2 adalah 25%.
- Sedangkan pada kelompok 3, terdapat jenis harta dengan masa manfaat minimal 16 tahun. Tarif penyusutan menurut ayat 1 adalah 6,25%, sementara menurut ayat 2 adalah 12,5%.
- Terakhir, dalam kelompok 4, terdapat jenis harta dengan masa manfaat minimal 20 tahun. Tarif penyusutan menurut ayat 1 adalah 5%, sementara menurut ayat 2 adalah 10%.
Dalam tarif penyusutan fiskal untuk harta berwujud bangunan, terdapat perbedaan antara dua jenis, yakni bangunan permanen dan tidak permanen.
Bangunan permanen, dengan masa manfaat 20 tahun, dikenai tarif penyusutan sebesar 5%, sedangkan bangunan tidak permanen, dengan masa manfaat 10 tahun, dikenai tarif penyusutan sebesar 10%.
Baca Juga: Kebijakan Fiskal: Pengertian, Tujuan, Instrumen, Dan Contohnya
Contoh Perhitungan Penyusutan Fiskal
Berikut ini adalah contoh perhitungan penyusutan fiskal dengan menggunakan metode garis lurus.
Sebuah perusahaan membeli mesin pada tanggal 1 Januari 2023 dengan harga Rp100.000.000. Masa manfaat mesin tersebut adalah 8 tahun. Nilai residu mesin tersebut adalah Rp10.000.000.
Perhitungan:
- Tarif penyusutan per tahun: (Harga perolehan – Nilai residu) / Masa manfaat = (Rp100.000.000 – Rp10.000.000) / 8 tahun = Rp11.250.000 per tahun
- Penyusutan fiskal tahun 2023: Rp11.250.000 x 12 bulan / 12 bulan = Rp11.250.000
Penjelasan:
- Tarif penyusutan per tahun dihitung dengan cara membagi selisih antara harga perolehan dan nilai residu dengan masa manfaat aset.
- Penyusutan fiskal tahun 2023 dihitung dengan cara mengalikan tarif penyusutan per tahun dengan jumlah bulan dalam tahun pajak
Itulah penjelasan seputar tarif penyusutan fiskal dan cara menghitungnya. Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
Sumber:
- https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/penyusutan-bagian-2-uu-pph-pasal-11-7fa1cbbb/detail/
- https://klikpajak.id/blog/cara-penghitungan-biaya-penyusutan-fiskal/