Istilah force majeure mungkin terdengar sangat asing, akan tetapi bagi kamu yang menjalani usaha wajib tahu akan hal ini. Sebab, force majeure memiliki peran yang cukup penting dalam proses perjanjian bisnis.
Perjanjian yang dimaksud bisa menyangkut kedua belah pihak seperti individu maupun organisasi. Dengan begitu, proses perjanjian yang ditetapkan bisa dilakukan secara jelas dan sah di mata hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), force majeure adalah keadaan yang ada di luar kuasa seseorang.
Dalam hal ini, manusia tidak bisa menghindarinya. Misalnya, kerugian yang ditimbulkan akibat bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan lainnya.
Yuk, simak lebih lanjut tentang apa itu force majeure dalam artikel di bawah ini.
Baca Juga: Ini 9 Contoh Kontrak Bisnis yang Berguna dalam Bisnismu
Apa Itu Force Majeure?
Bagi kamu yang belum tahu, force majeure adalah hukum kontrak yang di dalamnya menjelaskan klausal, di mana setiap pihak dapat terbebas dari kontrak apabila terjadi suatu keadaan atau kondisi yang tidak terduga dan tidak biasa.
Dalam hal ini, keadaan atau kondisi terjadi di luar kendali pihak yang terlibat dalam kontrak. Jadi, membuat kontrak tidak dapat dipenuhi sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.
Istilah force majeure ini diambil dari Bahasa Prancis yang secara harfiah memiliki arti kekuatan yang lebih besar.
Misalnya, berkaitan dengan kuasa Tuhan sehingga dampaknya tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh manusia yang terlibat dalam perjanjian atau kontrak.
Contoh kondisi tidak terdua, tidak biasa, dan di luar kendali ini bisa meliputi banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung, angin tornado, badai, bencana alam lainnya, hingga pandemi atau epidemi.
Selain itu, terdapat juga kejadian tidak biasa yang mungkin saja disebabkan oleh manusia, seperti konflik, peperangan, atau kerusuhan.
Baca Juga: Jangan Sampai Tertukar, Inilah Perbedaan MoU dan Perjanjian
Ketentuan Force Majeure dalam Hukum Indonesia
Nah, dalam hukum Indonesia sendiri, force majeure sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tepatnya, dalam Pasal 1244 KUHPerdata, Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata, dan Pasal 1445 KUHPerdata. Berikut isi peraturannya lebih lanjut yang perlu kamu pahami:
1. Pasal 1244 KUHPerdata
Pasal 12244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa, “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
2. Pasal 1245 KUHPerdata
Dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa “Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Dalam ketentuan ini, ada 5 hal yang menyebabkan debitur tidak dapat melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga, yakni:
- Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga (tidak termasuk dalam asumsi dasar dalam pembuatan kontrak).
- Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak debitur.
- Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan pihak debitur.
- Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak yang terkait.
- Tidak ada itikad yang buruk dari pihak debitur.
3. Pasal 1444 KUHPerdata
Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa:
Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Bahkan meskipun si berhutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di tangan si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya.
Si berhutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukan itu.
Dengan cara bagaimanapun sesuatu barang, yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya.
4. Pasal 1445 KUHPerdata
Dalam Pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa “Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.”
Baca Juga: 7 Cara Personal Branding Sebagai Entrepreneur, Tingkatkan Kepercayaan Mitra Bisnis
Jenis-Jenis Force Majeure
Dalam penerapannya, ada beberapa jenis atau kategori yang masuk dalam force majeure saat perjanjian atau kontrak dilakukan, di antaranya:
1. Force Majeure Objektif
Perjanjian atau kontrak dikatakan mengalami force majeure objektif ketika terjadi kecelakaan pada objek yang ada dalam kontrak. Misalnya ketika objek dalam perjanjian terkena banjir atau kebakaran.
2. Force Majeure Subjektif
Aturan ini berlaku apabila debitur tidak bisa melaksanakan tanggung jawabnya akibat kondisi yang diluar dugaan selama kontrak atau perjanjian dibuat.
3. Force Majeure Absolut
Ini terjadi ketika debitur benar-benar tidak bisa melaksanakan tanggung jawabnya apapun kondisinya. Misalnya ketika objek sudah tidak lagi diproduksi atau tidak lagi beredar di pasaran.
4. Force Majeure Relatif
Hal ini bisa terjadi apabila debitur tidak dapat memenuhi tanggung jawab dengan cara yang normal. Misalnya ketika kamu dan mitra bisnis membuat perjanjian ekspor-impor, akan tetapi pemerintah membuat aturan baru tentang pelarangan beberapa objek tertentu.
Maka dari itu, perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak tidak bisa dilaksanakan dengan cara yang normal. Namun, kontrak mungkin tetap bisa dilaksanakan melalui cara ilegal.
5. Force Majeure Permanen
Force majeure permanen terjadi ketika debitur tidak bisa melaksanakan tanggungjawabnya dengan cara apapun, sampai kapan pun.
Misalnya, ketika orang yang menyetujui kontrak jatuh sakit sehingga tidak bisa bertanggungjawab atas perjanjian.
6. Force Majeure Temporer
Sebaliknya, ini merupakan force majeure yang terjadi ketika debitur tidak bisa melakukan tanggung jawabnya sesuai dengan tenggat waktu, akan tetapi dapat dipenuhi di lain waktu.
Misalnya ketika pengadaan suatu barang yang tertera dalam kontrak mengalami kendala akibat buruh mogok kerja. Nantinya, pemenuhan barang sesuai perjanjian bisa tetap ditunaikan saat buruh kembali bekerja dan perusahaan produsen beroperasi kembali.
Baca Juga: 5 Fungsi Company Profile Bisnis untuk Menarik Investor
Penerapan Force Majeure dalam Kontrak atau Perjanjian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, force majeure dapat terjadi karena beberapa hal yang terjadi di luar kuasa atau kehendak pihak yang terlibat dalam kontrak.
Hal ini tidak berlaku bagi kondisi yang sengaja dibuat untuk menghindari kewajiban sesuai perjanjian kedua belah pihak.
Ada beberapa hal yang harus terpenuhi untuk membuat perjanjian dapat dikatakan force majeure, yakni:
- Peristiwa yang terjadi adalah rangkaian kejadian luar biasa yang tidak biasa dan tidak terduga yang umumnya disebabkan oleh awam.
- Dampak dari peristiwa tersebut sangat besar, sehingga mengakibatkan kerugian material dan berdampak pada kemampuan setiap pihak yang terikat dalam kontrak dalam memenuhi kewajiban kontrak mereka.
- Kondisi ataupun keadaan force majeure yang terjadi tidak bisa diantisipasi secara wajar oleh salah satu pihak di dalam kontrak. Sehingga, tanggung jawab berada di luar kendali setiap pihak.
Umumnya, force majeure akan dijelaskan secara rinci dalam sebuah perjanjian bisnis. Jadi, tidak bisa ditentukan secara sepihak dengan kondisi yang sengaja dilakukan agar tanggung jawab tak dipenuhi.
Selain itu, semua kondisi yang tidak biasa dan di luar kendali, bisa saja tak dibebaskan seluruh kewajibannya dari pihak yang bekerja sama.
Intinya, semua aturan kerja sama tertera dengan jelas dalam kontrak. Jadi, pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur.
Contoh kondisi tidak terduga yang bisa dikatakan force majeure, yakni ketika pabrik milik produsen hancur akibat peristiwa alam gempa bumi. Akibatnya, pengadaan barang yang diminta oleh mitra bisnis tidak dapat dipenuhi sesuai perjanjian.
Artinya, kontrak bisnis masuk dalam kategori force majeure dan pihak kedua yang melakukan kerja sama tidak dapat melakukan penuntutan untuk meminta ganti rugi. Sebab, prosesnya terhambat oleh bencana alam yang tidak terduga.
Itu dia penjelasan tentang force majeure dalam perjanjian bisnis. Semoga informasinya bisa menambah wawasan kamu dalam membuat kontrak kerja sama yang berkaitan dengan usaha, ya.