Usai ramainya tren quiet quitting, kini muncul tren baru sebagai respons atas tren sebelumnya, yaitu quiet firing.
Gaya hidup orang-orang kini terus berubah. Banyak budaya hidup baru yang silih berganti mewarnai setiap kegiatan, termasuk dalam urusan pekerjaan. Saat ini, banyak pekerja yang berasal dari Gen Z atau Gen Y yang kental dengan budaya kerja kekinian.
Menariknya, budaya kerja tersebut sangat beragam dan principle. Banyak istilah-istilah baru yang diadopsi oleh pekerja muda, seperti work life balance, hustle culture, dan yang terbaru quiet quitting.
Munculnya fenomena baru dalam dunia kerja adalah hal yang lumrah. Pasalnya, dunia kerja itu sendiri juga terus berubah, begitu pun dengan sistem kerjanya. Pergantian SDM juga mempengaruhi terciptanya kultur baru.
Ada sebagian kultur yang baik bagi lingkungan kerja, namun ada juga sejumlah kultur kerja yang toksik, misalnya bekerja dengan banyak beban namun tidak mendapat salary yang sesuai.
Merespons hal tersebut, muncul istilah quiet quitting dan quiet firing yang kini tengah menjadi perbincangan warganet.
Baca Juga: Tren Quiet Quitting: Budaya Kerja Ala Gen Z dan Gen Y
Quiet Quitting VS Quiet Firing
“Kerja cukup begini aja, seperlunya, yang penting gaji stabil dan hati tenang”, prinsip ini kerap kali dipegang oleh banyak pekerja muda. Banyak orang yang cenderung memilih mengamankan pekerjaan dan kebahagiaan mereka.
Kurang lebih, seperti itulah gambaran fenomena quiet quitting yang sedang terjadi saat ini.
Fenomena quiet quitting (berhenti diam-diam) ini adalah sebuah sikap dari karyawan untuk bekerja apa adanya, seperlunya, dan tidak mengejar karir. Bisa dibilang, banyak pekerja memilih membatasi diri mereka sendiri, asal gaji lancar dan hidup tenang.
Quiet quitting sebenarnya sudah ada sejak lama, namun popularitasnya baru naik belakangan ini.
Di banyak perusahaan, saat pandemi lalu banyak karyawan yang mengundurkan diri. Salah satu alasannya karena merasa tidak puas dan tidak aman dengan pekerjaannya.
Misalnya saja di Inggris, jumlah pekerja yang mengundurkan diri melonjak drastis selama tahun 2021. Sebagian pekerja mengundurkan diri untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari segi upah dan kepuasan.
Namun, tidak semua pekerja memiliki kesempatan yang bagus untuk mencari tempat kerja baru. Pasalnya, banyak pekerja yang sudah mencapai usia matang (dewasa ke atas), sehingga lebih sulit mendapat pekerjaan.
Nah, bagi Gen Z dan Gen Y, cara terbaik untuk mengatasi ketidaknyamanan di tempat kerja adalah menerapkan quit quitting.
Namun, fenomena quiet quitting dianggap toksik lantaran membuat produktivitas dan kinerja para pekerja menjadi menurun. Sebagian pekerja bahkan jadi gagal berkembang sehingga kurang memuaskan perusahaan.
Sebagian atasan yang kurang puas dengan kinerja timnya pun akhirnya ada yang menerapkan quiet firing sebagai kontra strategi. Quiet firing juga bisa dipicu oleh kebutuhan perusahaan untuk memotong cost dan melakukan PHK.
Quiet firing adalah upaya yang cermat dan terpadu dari seorang manajer untuk melepaskan seorang karyawan, terutama karena kebutuhan perusahaan untuk memotong biaya dan melakukan PHK pekerjaan.
Pekerja yang menjadi sasaran quiet hiring tak melulu karena memiliki kinerja yang kurang bagus. Namun, belakangan ini cara tersebut banyak diterapkan oleh atasan untuk “memaksa” karyawan secara halus agar resign.
Baca Juga: 6 Metode Penilaian Kinerja Karyawan Untuk Bisnismu
Mengapa Quiet Firing Bisa Terjadi?
Banyak yang menyebut bahwa quiet firing merupakan respons atasan karena banyaknya pegawai yang menerapkan tren quiet quitting atau bekerja ala kadarnya.
Alhasil, OKR atau target perusahaan jadi sulit tercapai. Untuk memacu karyawan agar meningkatkan produktivitasnya, diterapkanlah strategi quiet firing ini.
Karyawan akan dibuat merasa diabaikan, ditekan, atau didorong secara halus untuk meningkatkan kinerjanya. Jika karyawan yang bersangkutan tidak dapat memenuhinya dan merasa tidak nyaman, biasanya karyawan tersebut akan mengundurkan diri.
Ketika karyawan mengajukan resign, maka Ia tidak berhak menerima pesangon. Inilah salah satu alasan mengapa quiet firing diterapkan oleh atasan. Selain itu, ada beberapa alasan lain yang mendorong fenomena ini, yaitu:
- Performa karyawan tidak memenuhi ekspektasi atasan dan tidak ada perubahan dari waktu ke waktu.
- Penilaian subjektif dari atasan yang merasa tidak cocok dengan karyawannya.
- Politik kantor.
- Atasan yang otoriter, tidak mau mendengarkan feedback dari tim.
- Efisiensi cost perusahaan dan tindakan PHK.
Quiet firing sebenarnya bisa jadi cara yang bagus untuk memotivas karyawan. Misalnya, ada karyawan yang hobi menunda pekerjaan. Atasan bisa memberikan silent treatment dan memberikan ekstra job agar karyawan lebih disiplin.
Namun, kebanyakan tren baru ini bersifat toksik karena merupakan penilaian subjektif dari atasan. Akibatnya, karyawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan diskusi.
Baca Juga: Hak dan Jaminan Perlindungan Karyawan yang Wajib Diketahui
Ciri-Ciri Quiet Firing
Untuk mengantisipasi agar kamu tidak menjadi sasaran quiet firing, ada beberapa ciri-ciri yang perlu kamu kenali.
1. Diabaikan Oleh Atasan
Ciri pertama adalah diabaikan oleh atasan. Mendadak, atasanmu akan mengurangi dan menghindari komunikasi dua arah atau diskusi bersama.
Biasanya, hal tersebut dilakukan untuk membuatmu merasa kurang nyaman maupun bagian dari silent treatment.
Jika terjadi, segeralah cek kembali performamu. Jangan melulu menuduh tempatmu bekerja sebagai lingkungan toksik. Sebab, bisa jadi memang ada kinerjamu yang kurang baik dan tidak memenuhi OKR yang disepakati.
2. Jarang Dipuji, Namun Sering Dicari Kesalahan
Jika kamu merasa kinerjamu sudah memenuhi target, namun tidak mendapat apresiasi dan justru sering dicari-cari kesalahannya, kamu patut waspada.
Bisa jadi, kamu menjadi sasaran quiet quitting. Motifnya bisa bervariasi, namun ada baiknya kamu tidak langsung berprasangka buruk. Kamu bisa membicarakan permasalah di kantor dengan baik kepada sesama rekan kantor atau kepada atasanmu.
3. Tidak Ada Kejelasan Karier
Biasanya, perusahaan yang sedang mengambil langkah pengurangan tenaga kerja dengan cara quiet hiring, akan membatasi jenjang karir karyawannya.
Misalnya, ditutupnya kesempatan mutasi dan promosi serta kenaikan gaji. Hal ini dilakukan untuk mengunci karyawan di satu posisi hingga keuangan perusahaan kembali stabil.
Beberapa di antaranya juga ada yang melakukan demosi, pemotongan gaji, hingga pencabutan sebagian benefit karyawan.
Baca Juga: 2 Pengertian Onboarding bagi Karyawan Baru dan Pelanggan
4. Mendapat Tugas Baru yang Sulit Dikerjakan
Ini merupakan cara paling ekstrem dari quiet firing. Atasan akan memberikan pekerjaan baru yang sangat sulit untuk direalisasikan.
Terkadang, pekerjaan tersebut tidak relevan dengan posisimu saat ini atau dengan keterampilan yang kamu miliki. Tujuannya sederhana, membuatmu tidak bisa bekerja dengan maksimal dan akhirnya resign.
Dampak dari quiet firing bisa membuat karyawan menjadi tidak kompeten, merasa terisolasi, kurang percaya diri, dan lelah secara mental.
Sebagai atasan, cara ini memang kurang baik untuk diterapkan. Diskusi dan komunikasi dua arah tetap menjadi solusi atas permasalahan di tempat kerja.